Orang Topas ini merupakan campuran antara penduduk setempat
dengan para pendatang yang menggunakan bahasa Portugis, seperti para
serdadu, budak dari India dan Afrika yang sudah dimerdekakan, bekas
pegawai VOC yang melarikan diri.
Pemimpin orang-orang Larantuka dipegang oleh dua keluarga yang
terkenal di sana, pertama, keluarga da Costa yang berasal dari keturunan
orang-orang Portugis dan bangsawan dari Timor, kedua, keluarga da
Hornay, keturunan Hornay bekas komandan VOC di Solor yang membelot ke Larantuka. Sampai tahun 1750 kedua keluarga ini bertarung untuk
memperebutkan kekuasaannya di Flores dan sekitarnya. Mereka saling
menyerang, merampok dan membunuh untuk mendapatkan kekuasaannya,
sampai tahun 1750 ketika mereka sepakat untuk menjalankan sistem
kekuasaan yang bergilir. Selain itu desa-desa kristen yang sudah
berkembang menjadi kekuatan lokal membentuk aliansi Lima Panti (lima
pemukiman), yang terdiri atas Adonara, Lamahal dan Terong di Pulau
Adonara dan Lawayong dan Lamakera di Pulau Solor. Mereka juga
bekerjasama dengan penguasa Larantuka untuk menghadapi kekuatan orangorang Islam yang juga dianut oleh penduduk di daerah pedalaman. Penguasa
Larantuka juga lambat laun mempengaruhi dan menguasai daerah-daerah
lainnya di Flores, seperti Sikka, Lio dan Endeh. Mereka biasanya akan
mengerahkan pasukan untuk menekan para penguasa lokal agar mau
memeluk agama Katholik.
Meskipun pengaruh kebudayaan Portugis cukup kuat dalam
masyarakat Larantuqueiros, namun mereka tidak merasa di kuasai oleh
pemerintah Portugal. Sesungguhnya mereka adalah kekuatan yang merdeka
dan berdiri sendiri. Selama abad ke17 dan 18, hanya ada dua kapal angkut
Portugis yang berlayar dari Goa (India) ke Larantuka, dan tidak ada
seorangpun wakil resmi kerajaan Portugal yang berkunjung ke Larantuka
selama periode tersebut
Pada akhir abad ke-17, pemimpin Larantuka mulai melihat bahwa
perdagangan kayu cendana asal Timor sangat menguntungkan sehingga
mereka juga ingin terlibat dalam penguasaan perdagangan kayu cendana.
Dengan menggunakan kekuatan angkatan perangnya, pemimpin Larantuka
ingin menguasai daerah perdagangan kayu cendana di tempat asalnya, Timor. Pada tahun 1640, dikirim satu patroli untuk menduduki wilayah Lifau,
yang terletak di pantai utara Timor. Daerah Lifau dikenal dengan wilayah yang
kaya dengan hutan kayu cendana. Dengan menggunakan perahu mereka
menyusuri sungai menuju ke hutan kayu cendana. Lingkungan alam berupa
pegunungan yang tinggi melindungi mereka dari serangan suku-suku
pedalaman Timor. Keluarga da Hornay dan da Costa menggunakan pasukan
bersenjatanya untuk memaksa para Liurai (raja setempat) untuk bernegosiasi.
Namun tak jarang serangan bersenjata yang mematikan dengan
menggunakan musket (senapan) dilakukan oleh orang Topas untuk
menguasai perdagangan kayu cendana. Sekitar tahun 1675, Antonio da
Hornay, anak dari Jan de Hornay, komandan benteng VOC di Solor yang
membelot ke pihak Larantuka-Portugis menjadi pemimpin Larantuka, dia
bahkan menobatkan dirinya sebagai raja tanpa mahkota dari Timor
(Uncrowed King of Timor), karena dia mempunyai kekuasaan untuk mengatur
lalu-lintas perdagangan kayu cendana, berupa kekuatan untuk menaikkan
harga dan bahkan melarang penjualan kayu cendana kepada para pedagang
asing. Perluasan kekuatan Larantuka di Timor diperoleh dari perkawinan
Antonia da Hornay dengan anak perempuan Raja Ambeno di Timor.
Perebutan kekuasaan di Nusa Tenggara bagian timur terus dilakukan
oleh VOC, dengan menaklukkan Kupang di ujung selatan Pulau Timor tahun
1653. Setelah penaklukkan VOC membangun benteng (Fort) Concordia
sebagai pusat basis pertahanan, politik dan ekonomi di Pulau Timor.
Pemerintah Belanda (VOC) berupaya untuk memperluas wilayahnya di Timor,
pada tahun 1655, Jacob van der Hijden, komandan yang membawahi Solor
dan Timor memimpin pasukannya dibantu oleh orang-orang Solor untuk menaklukkan kerajaan Sonbai di Timor. Banyak bangsawan Solor dan
serdadu Belanda yang tewas dalam peperangan tersebut, termasuk van der
Hijden sendiri yang tewas ditusuk pedang oleh Antonio da Hornay pemimpin
Kerajaan Larantuka. Di pihak lain Portugal juga merasa bahwa ekspansi
Larantuka ke Timor dilakukan bukan atas nama Portugal, sehingga Gubernur
Makao mengirim Antonio Coelho Guerreiro dengan seratus prajurit untuk
membuka basis di Timor. Dalam persinggahannya di Larantuka, dia diusir
oleh Raja Larantuka, Domingos da Costa. Guerreiro bersama pasukannya
akhirnya mendarat di Lifau, Timor, pada tahun 1702. Di Lifau, dia bersama
pasukannya membangun dengan susah payah benteng dari tanah lumpur,
sampai akhirnya berdirilah sebuah kota kecil. Raja Larantuka menganggap
bahwa kedudukan Portugis di Timor adalah tindakan penyusupan atas
wilayahnya, seperti yang dilakukan oleh Belanda. Pasukan Larantuka (Topas)
kemudian mengepung benteng Lifau selama dua tahun, banyak pasukan
Portugis yang mati kelaparan akibat pengepungan tersebut. Pengepungan ini
juga disebabkan karena kebijakan Gubernur Portugis di Laifau yang
menyatakan semua kerajaan di sekitar Lifau berada dibawah kekuasaan
Gubernur. Sehingga Raja Oikussi, Domingos da Costa, memimpin
penyerbuan di bantu oleh orang-orang Belanda dan penduduk Oikussi
terhadap benteng Portugal di Lifau. Pemimpin Portugis, Guerreiro akhirnya
menyerah kalah kepada pasukan Topas tahun 1704. Namun orang-orang
Portugis nantinya membangun kembali kekuatannya diwilayah ini dengan
bantuan pasukan dari Makau dan Portugal.
Periode ini mengawali keadaan yang kacau di Pulau Timor akibat
perebutan pengaruh dari empat kelompok. Pertama, adalah kekuatan Larantuqueiros (Topas), Portugis, Belanda dan raja-raja (liurai) di Timor. Di
antara empat kelompok ini, mereka saling beraliansi untuk menghancurkan
kelompok lainnya. Namun setelah aliansi ini menang, kelompok dalam aliansi
tersebut kemudian saling menyerang satu sama lain. Kekuasaan Larantuka
berupaya menjalin aliansi dengan pemimpin lokal di Timor, dengan jalan
mempengaruhi kepemimpinan lokal atau dengan cara mengawini puteri Liurai
untuk mendapatkan kekuasaan atas mereka. Orang Portugis juga seringkali
menjalin hubungan dengan para liurai dengan iming-iming penghargaan
medali dan gelar kebangsawanan. Jenderal Guerreiro bahkan telah
memberikan gelar kepangkatan coronel kepada dua puluh liurai dari Timor.
Orang-orang Timor yang menjadi penguasa yang lebih rendah tingkatannya
mendapat gelar capitao atau feitor. Raja Atoni di Timor memakai gelar kolnelrai (colonel king) untuk dirinya.
Sementara itu kekuatan raja-raja lokal di Timor terdiri dari 46
kelompok suku yang tinggal di bagian timur Pulau Timor, mereka tergabung
dalam ‘perhimpunan Bellos” yang diperkirakan dapat memobilisasi 40.000
pasukan. Kerajaan Belos ini berpusat di Laran dan rajanya bergelar Maromak
Oan (anak tuhan). Sedangkan di bagian barat Timor terdiri atas 16 suku yang
di pimpin oleh kerajaan Serviao, yang memiliki kekuatan 25.000 pasukan.
Dalam kerajaan Serviao rajanya bergelar Sonobai yang berkedudukan di
Amanuban, penduduk kerajaan Serviao adalah orang Dawan. Kelompok yang
paling lemah adalah Belanda, bertahan di benteng Concordia di Kupang,
sering terserang wabah penyakit. Garnisun Belanda di Kupang ini
menghabiskan waktunya untuk bertahan menghadapi serangan dari
kelompok-kelompok lainnya.
Pada tahun 1758 pasukan Belanda dipimpin oleh Pluskow
mengadakan kerjasama dengan orang-orang Atoni menyerang dan
mengalahkan pasukan Larantuka (Topas) di Noimuti. Namun usaha perluasan
kekuasaan Belanda ini terhenti tahun 1764 karena serangan pasukan Portugis
dari Lifau, dan berhasil mengalahkan pasukan Belanda termasuk
komandannya Pluskow ikut terbunuh. Kejadian yang cukup penting dicatat
adalah kekalahan pasukan Portugis di Lifau melawan serangan pasukan
Larantuka (Topas) yang telah mengepung benteng Lifau. Pada bulan Agustus
tahun 1769, Jendral Jose Telles de Menezes dan pasukannya terpaksa
meninggalkan Lifau dan mencari tempat yang baru bagi pasukannya. Dengan
dua buah kapal besar, Vicente dan Santa Rosa dan kapal-kapal kecil
penguasa Lifau dan robongannya bergerak ke arah timur, sampai di
Batugede, wilayah ini berbatasan dengan Atapupu yang dikuasai Belanda. di
daerah Batugede, armada ini mendarat untuk persiapan perjalanan
selanjutnya. Pelayaran dilanjutkan ke Vemasse, sebuah kerajaan besar, pusat
kegiatan missi Katholik, namun karena wilayah ini tidak memiliki teluk dan
mudah diserang musuh, armada bergerak lagi lebih ke timur. Sesampainya di
Kerajaan Mota Ain Dili, armada berhenti dan diputuskan untuk menjadikan Dili
sebagai pusat pemerintahan Portugal di Timor. Meskipun wilayah Dili
merupakan tempat yang kurang menarik, tanahnya berawa-rawa penuh
dengan nyamuk penyebar malaria dan demam kuning. Namun tempat ini
dirasakan cukup aman dari serangan pasukan Larantuka karena terletak jauh
di pantai utara bagian timur.
Meskipun Portugal tidak menguasai secara politik daerah Nusa
Tenggara bagian timur, namun Gubernur Jenderal Portugis di Dili, Lopes de Lima menawarkan pengalihan kekuasaan atas beberapa wilayah di Nusa
Tenggara bagian timur kepada pemerintah Hindia Belanda di Batavia, tahun
1854. Penawaran transfer kekuasaan atas wilayah yang dikuasai oleh
Kerajaan Larantuka di Timor barat, Flores, Adonara, Solor, Lomblen, Pantar,
dan Alor oleh pemerintah Portugis di Dili kepada pemerintah Belanda dengan
pembayaran 200.000 Guilders, dimaksudkan antara lain agar pemerintah
Hindia Belanda mau mengambil alih kekuasaan orang-orang Topas
(Larantuqueiros) atas wilayah tersebut. Tawaran ini dengan segera disambut
oleh pemerintah Hindia Belanda yang menginginkan konsolidasi teritorinya di
seluruh wilayah Nusantara. Kemudian pemerintah di Batavia memberikan
pembayaran pertama sebanyak 80.000 Guilders tunai kepada Gubernur
Portugis di Dili. Kesepakatan antara Dili dan Batavia ini ternyata tidak
diketahui oleh pemerintah Portugis di Lisbon, dan menimbulkan protes dari
pemerintah pusat Portugal. Namun akhirnya perjanjian pengalihan kekuasaan
ini diratifikasi pada tahun 20 April 1859 di Lisabon, ibukota Portugis.
Sepertinya keinginan Gubernur Portugis di Dili ini merupakan satu cara
untuk mengatasi kekacauan dan terganggunya keamanan di daerah yang
diduduki Portugis. Selain dari penguasa pribumi di Timor, ancaman yang
terbesar adalah ekspansi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda di
Timor. Pada tahun 1818, residen Timor, J. A. Hazaart, yang berkedudukan di
Kupang melakukan serangan militer dan berhasil menguasai kota pantai
Atapupu yang dikuasai oleh Portugis yang terletak di pantai utara Timor.
Dalam peperangan tersebut pihak Belanda merekrut pasukan dari orangorang Rote dan Sawu, bahkan sebagian penduduk Sawu dan Rote
dimukimkan di sepanjang pantai utara Timor untuk mengurangi kekuatan
Kerajaan Sonbai. Serangan-serangan juga dilakukan untuk menaklukkan
kerajaan Amanuban yang dituduh Belanda, menyerang sekutu-sekutu
Belanda di Timor pada tahun yang sama. Pada tahun 1828 Kerajaan Sonbai
Besar juga diserang karena tidak mau tunduk kepada Belanda. namun dari
serangan-serangan tersebut pihak Belanda tidak berhasil mengalahkan rajaraja (liurai) Timor tersebut. Sehingga selama abad ke19 kekuasaan Belanda
hanya terkonsentrasi di wilayah Kupang dan sekitarnya saja. Ditambah
dengan kekuasaan terbatas di kerajaan-kerajaan sekutu seperti Amarasi dan
Sonbai kecil, wilayah Atapupu dan Kerajaan Maubara yang ada di dekat kota
Dili, Kerajaan Maubara menjalin hubungan dengan Belanda karena kecewa
dengan tindakan pemerintahan Portugis di Dili.
Pertikaian di Pulau Timor masih berlangsung sampai pertengahan bad
ke-19. Tahun 1836, Kerajaan Sonbai, Amanuban dan Amfoang bersekutu
untuk melawan kekuatan Belanda, mereka menyerang daerah-daerah sekitar
Pulau Timor. Peperangan yang terjadi masih berlanjut antara pasukan
Belanda dengan prajurit Sonbai pada tahun 1843, bahkan Kerajaan Manbait
sekutu Sonbai pada tahun 1847 menyerang kampung orang Rote, sekutu
Belanda di Nunkurus, yang terletak di pantai utara Timor. Kondisi seperti
inilah yang menjadi alasan Gubernur Dili melakukan penawaran transfer
kekuasaan di Flores dan sekitarnya, dengan harapan Belanda menghentikan
ekspansinya ke Timor bagian timur.
Suatu ironi telah terjadi pada waktu itu, sebagai negara imperialis
Portugis telah menjual daerah seberang lautan yang nyata-nyata tidak
dikuasainya kepada negara Eropa lainnya. Portugis tidak pernah mempunyai
kekuatan untuk mendirikan basis militer, politik dan ekonominya di wilayah Nusa Tenggara bagian timur kecuali Timor bagian timur dan daerah Oikussi.
Meski begitu kebanyakan penguasa lokal masih memerintah secara mandiri
wilayahnya, karena secara politik pemerintah Hindia Belanda sendiri baru
pada awal abad ke-20 menguasai penuh secara de facto atas wilayah
kepulauan di Nusa Tenggara bagian timur.
Perkembangan pada abad ke-19, hasil kayu cendana masih
mendominasi perdagangan antar pulau di Timor. Namun penduduk Larantuka
kemudian lebih memilih mengelola tanah pertaniannya. Mereka membuka
ladang-ladang untuk ditanami jagung, mananam tembakau dan mengelola
perkebunan kelapa untuk dijadikan kopra yang dapat diolah menjadi minyak
kelapa. Di samping itu kegiatan mencari ikan masih merupakan profesi
penduduk di tepi pantai. Perdagangan dengan daerah-daerah lainnya
terutama dengan pedagang Makasar semakin meningkat, kapal-kapal
padewakang berdatangan membawa barang-barang dari Malaka dan Jawa
untuk ditukarkan dengan produk-produk setempat.
Dari deskripsi yang bisa kita lihat dari perebutan hegemoni politik, dan
ekonomi di Nusantara selama abad ke-17 sepertinya tidak berpihak lagi
kepada Portugis. Pada abad sebelumnya Portugis dengan kekuatan
armadanya berhasil mengalahkan kekuatan lokal di Nusantara, terutama
penaklukkan bandar Malaka dan beberapa daerah di Ambon dan Ternate.
Namun abad ke-17 kekuasaan Portugis atas daerah perdagangan di
Nusantara mulai merosot karena terdesak oleh kekuatan maritim VOC.
Beberapa wilayah yang masih dikuasainya adalah daerah sekitar pulau Timor
dan sebagian Flores timur. Di wilayah ini pengaruh Portugis cukup kuat
terutama dalam bidang kebudayaan dan penyebaran agama Katholik.
Lembaga agama Katholik dari ordo Dominikan sangat dominan di terutama di Flores timur (daerah Larantuka) , Solor dan sebagian besar Timor. 25 Namun
Portugis tetap berusaha untuk bangkit dengan memindahkan pusat
perdagangannya di pelabuhan Makasar, yang sebelum tahun 1660 adalah
pelabuhan bebas bagi kapal-kapal asing. Di Pelabuhan Makasar, mereka
membeli Cengkeh, kayu cendana dan barang-barang lain sampai kemudian
VOC mengambil alih pelabuhan Makasar dengan kekerasan senjata dalam
Perang Makasar (1660-1667). Sementara itu daerah Macao di Cina dan
daerah Sunda kecil (Timor, Solor dan Flores) masih dipertahankan sebagai
daerah koloninya.
Dilihat dari sejarah kekuasaan politik Portugis di pulau-pulau di Nusa
Tenggara bagian timur terlihat bahwa kekuatan Portugis amat lemah. Bahkan
di akhir abad ke18, kedudukan Portugis di Lifau, daerah pantai utara Timor,
dihancurkan oleh kekuatan bangsa Timur yang dipimpin oleh pasukan Topas
(Larantuka) dan sekutunya di Timor. Sehingga sebetulnya Portugis kemudian
hanya memiliki daerah Dili dan sekitarnya pada akhir abad ke-18, seperti
yang diuraikan dalam penjelasan di atas. Jadi kalau dilihat dari lintasan
historis yang telah disusun dalam uraian di atas, terlihat kemerosotan
hegemoni politik dan ekonomi Portugal terjadi di seluruh wilayah Nusantara.
Suatu kesimpulan yang salah kalau Portugis dianggap memiliki kekuasaan
yang mutlak atas Flores, Solor, Alor, Timor dan sekitarnya, meskipun agama
Kaholik dan kebudayaan Portugis yang diserap masyarakat melekat cukup
kuat akibat interaksi kebudayaan Portugis selama hampir satu abad, selama
abad ke-16. Namun kenyataannya daerah-daerah tersebut adalah kerajaan
yang merdeka.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan, mengapa Portugis kalah
bersaing dengan Belanda dalam pelayaran dan perdagangan di Nusantara.
C.R. Boxer mengemukakan beberapa argumennya, bahwa kekalahan
Portugis atas wilayah darat dan laut di kepulauan Nusantara ini terjadi karena
beberapa sebab.
Alasan kemenangan Belanda di Asia menurut C.R. Boxer dapat
disimpulkan dalam 3 kelompok utama: pertama, Belanda memiliki sumber
daya ekonomi yang kuat, kedua, memiliki sumber daya manusia yang besar,
dan ketiga, memiliki kekuatan laut (sea power) yang kuat. Sebagai gambaran
menurut Boxer, sebuah propinsi, di negeri Belanda memiliki kekayaan yang
lebih besar daripada Kerajaan Portugal. Meskipun penduduk Belanda tidak
sebesar Inggris atau Perancis, namun orang Belanda secara ekstensif
menarik warga negara tetangganya, seperti Jerman dan negara-negara
Skandinavia sebagai tenaga manusia dalam ketentaraan dan awak bagi
armada niaga dan armada perangnya. Menurut catatan Antonio Vieira,
armada dagang dan perang Belanda terdiri atas 14.000 kapal yang dapat
dipakai untuk melayari perairan di Afrika dan Asia, sementara kekuatan laut
Portugis sangat kecil. Bayangkan armada laut Belanda diawaki oleh hampir
250.000 pelaut dan tentara yang ada di kapal-kapal, sementara Portugis
hanya memiliki 6.260 orang pelaut dan tentara untuk seluruh negara di dunia.
Kelemahan inilah yang nantinya makin membuat pelayaran dan perdagangan
Portugis di seberang lautan makin merosot pada abad ke18.
Dengan demikian ketertinggalan Portugis dalam hal persenjataan dan
tehnologi perkapalan dibandingkan dengan Belanda dan Inggris sangat
mempengaruhi kekuatan armada Portugis. Namun yang lebih penting Belanda
dengan VOC-nya, Inggris dengan EIC (Esat India Company) nya telah
menggunakan cara-cara kapitalisme modern untuk melakukan perdagangan dan eksploitasi ekonomi dengan negeri-negeri penghasil rempah-rempah dan
produk hutan lainnya yang sangat laku di pasaran.
Klik gambar di bawah ini untuk mengerjakan tugas
Posting Komentar