0
Setelah kepergian armada VOC meninggalkan Solor, Pelabuhan Larantuka berkembang makin pesat. Kapal-kapal dari Jawa dan Cina secara rutin menyinggahi pelabuhan tersebut. Terlebih lagi Larantuka menjadi tempat pengungsian orang-orang Portugis dari malaka yang direbut oleh VOC tahun 1641. Larantuka telah menjadi salah satu dari dua pusat kekuasaan Portugis di wilayah Timur Jauh, setelah Makao. Para imigran juga membangun dua pemukiman baru, pertama, mereka membangun tempat pemukiman di Pulau Adonara, yaitu di Wureh, kedua, pembukaan pemukiman baru dilakukan di Konga, sekitar 20 kilometer arah selatan Larantuka. Mereka kemudian membangun komunitas masyarakat baru dan menikah dengan wanita-wanita setempat. Mereka ini kemudian dikenal dengan orang Topas atau orang Belanda menyebutnya Zwarte Portugeesen atau Portugis hitam, yang memang bisa dikenali dari kulit mereka yang berwarna gelap. Namun orang-orang yang tinggal di Larantuka, Konga dan Wureh menyebut diri mereka dengan sebutan Larantuqueiros atau orang dari Larantuka.

Orang Topas ini merupakan campuran antara penduduk setempat dengan para pendatang yang menggunakan bahasa Portugis, seperti para serdadu, budak dari India dan Afrika yang sudah dimerdekakan, bekas pegawai VOC yang melarikan diri.

Pemimpin orang-orang Larantuka dipegang oleh dua keluarga yang terkenal di sana, pertama, keluarga da Costa yang berasal dari keturunan orang-orang Portugis dan bangsawan dari Timor, kedua, keluarga da Hornay, keturunan Hornay bekas komandan VOC di Solor yang membelot ke Larantuka. Sampai tahun 1750 kedua keluarga ini bertarung untuk memperebutkan kekuasaannya di Flores dan sekitarnya. Mereka saling menyerang, merampok dan membunuh untuk mendapatkan kekuasaannya, sampai tahun 1750 ketika mereka sepakat untuk menjalankan sistem kekuasaan yang bergilir. Selain itu desa-desa kristen yang sudah berkembang menjadi kekuatan lokal membentuk aliansi Lima Panti (lima pemukiman), yang terdiri atas Adonara, Lamahal dan Terong di Pulau Adonara dan Lawayong dan Lamakera di Pulau Solor. Mereka juga bekerjasama dengan penguasa Larantuka untuk menghadapi kekuatan orangorang Islam yang juga dianut oleh penduduk di daerah pedalaman. Penguasa Larantuka juga lambat laun mempengaruhi dan menguasai daerah-daerah lainnya di Flores, seperti Sikka, Lio dan Endeh. Mereka biasanya akan mengerahkan pasukan untuk menekan para penguasa lokal agar mau memeluk agama Katholik.


Meskipun pengaruh kebudayaan Portugis cukup kuat dalam masyarakat Larantuqueiros, namun mereka tidak merasa di kuasai oleh pemerintah Portugal. Sesungguhnya mereka adalah kekuatan yang merdeka dan berdiri sendiri. Selama abad ke17 dan 18, hanya ada dua kapal angkut Portugis yang berlayar dari Goa (India) ke Larantuka, dan tidak ada seorangpun wakil resmi kerajaan Portugal yang berkunjung ke Larantuka selama periode tersebut

Pada akhir abad ke-17, pemimpin Larantuka mulai melihat bahwa perdagangan kayu cendana asal Timor sangat menguntungkan sehingga mereka juga ingin terlibat dalam penguasaan perdagangan kayu cendana. Dengan menggunakan kekuatan angkatan perangnya, pemimpin Larantuka ingin menguasai daerah perdagangan kayu cendana di tempat asalnya, Timor. Pada tahun 1640, dikirim satu patroli untuk menduduki wilayah Lifau, yang terletak di pantai utara Timor. Daerah Lifau dikenal dengan wilayah yang kaya dengan hutan kayu cendana. Dengan menggunakan perahu mereka menyusuri sungai menuju ke hutan kayu cendana. Lingkungan alam berupa pegunungan yang tinggi melindungi mereka dari serangan suku-suku pedalaman Timor. Keluarga da Hornay dan da Costa menggunakan pasukan bersenjatanya untuk memaksa para Liurai (raja setempat) untuk bernegosiasi. Namun tak jarang serangan bersenjata yang mematikan dengan menggunakan musket (senapan) dilakukan oleh orang Topas untuk menguasai perdagangan kayu cendana. Sekitar tahun 1675, Antonio da Hornay, anak dari Jan de Hornay, komandan benteng VOC di Solor yang membelot ke pihak Larantuka-Portugis menjadi pemimpin Larantuka, dia bahkan menobatkan dirinya sebagai raja tanpa mahkota dari Timor (Uncrowed King of Timor), karena dia mempunyai kekuasaan untuk mengatur lalu-lintas perdagangan kayu cendana, berupa kekuatan untuk menaikkan harga dan bahkan melarang penjualan kayu cendana kepada para pedagang asing. Perluasan kekuatan Larantuka di Timor diperoleh dari perkawinan Antonia da Hornay dengan anak perempuan Raja Ambeno di Timor.


Perebutan kekuasaan di Nusa Tenggara bagian timur terus dilakukan oleh VOC, dengan menaklukkan Kupang di ujung selatan Pulau Timor tahun 1653. Setelah penaklukkan VOC membangun benteng (Fort) Concordia sebagai pusat basis pertahanan, politik dan ekonomi di Pulau Timor. Pemerintah Belanda (VOC) berupaya untuk memperluas wilayahnya di Timor, pada tahun 1655, Jacob van der Hijden, komandan yang membawahi Solor dan Timor memimpin pasukannya dibantu oleh orang-orang Solor untuk menaklukkan kerajaan Sonbai di Timor. Banyak bangsawan Solor dan serdadu Belanda yang tewas dalam peperangan tersebut, termasuk van der Hijden sendiri yang tewas ditusuk pedang oleh Antonio da Hornay pemimpin Kerajaan Larantuka. Di pihak lain Portugal juga merasa bahwa ekspansi Larantuka ke Timor dilakukan bukan atas nama Portugal, sehingga Gubernur Makao mengirim Antonio Coelho Guerreiro dengan seratus prajurit untuk membuka basis di Timor. Dalam persinggahannya di Larantuka, dia diusir oleh Raja Larantuka, Domingos da Costa. Guerreiro bersama pasukannya akhirnya mendarat di Lifau, Timor, pada tahun 1702. Di Lifau, dia bersama pasukannya membangun dengan susah payah benteng dari tanah lumpur, sampai akhirnya berdirilah sebuah kota kecil. Raja Larantuka menganggap bahwa kedudukan Portugis di Timor adalah tindakan penyusupan atas wilayahnya, seperti yang dilakukan oleh Belanda. Pasukan Larantuka (Topas) kemudian mengepung benteng Lifau selama dua tahun, banyak pasukan Portugis yang mati kelaparan akibat pengepungan tersebut. Pengepungan ini juga disebabkan karena kebijakan Gubernur Portugis di Laifau yang menyatakan semua kerajaan di sekitar Lifau berada dibawah kekuasaan Gubernur. Sehingga Raja Oikussi, Domingos da Costa, memimpin penyerbuan di bantu oleh orang-orang Belanda dan penduduk Oikussi terhadap benteng Portugal di Lifau. Pemimpin Portugis, Guerreiro akhirnya menyerah kalah kepada pasukan Topas tahun 1704. Namun orang-orang Portugis nantinya membangun kembali kekuatannya diwilayah ini dengan bantuan pasukan dari Makau dan Portugal.

Periode ini mengawali keadaan yang kacau di Pulau Timor akibat perebutan pengaruh dari empat kelompok. Pertama, adalah kekuatan Larantuqueiros (Topas), Portugis, Belanda dan raja-raja (liurai) di Timor. Di antara empat kelompok ini, mereka saling beraliansi untuk menghancurkan kelompok lainnya. Namun setelah aliansi ini menang, kelompok dalam aliansi tersebut kemudian saling menyerang satu sama lain. Kekuasaan Larantuka berupaya menjalin aliansi dengan pemimpin lokal di Timor, dengan jalan mempengaruhi kepemimpinan lokal atau dengan cara mengawini puteri Liurai untuk mendapatkan kekuasaan atas mereka. Orang Portugis juga seringkali menjalin hubungan dengan para liurai dengan iming-iming penghargaan medali dan gelar kebangsawanan. Jenderal Guerreiro bahkan telah memberikan gelar kepangkatan coronel kepada dua puluh liurai dari Timor. Orang-orang Timor yang menjadi penguasa yang lebih rendah tingkatannya mendapat gelar capitao atau feitor. Raja Atoni di Timor memakai gelar kolnelrai (colonel king) untuk dirinya.

Sementara itu kekuatan raja-raja lokal di Timor terdiri dari 46 kelompok suku yang tinggal di bagian timur Pulau Timor, mereka tergabung dalam ‘perhimpunan Bellos” yang diperkirakan dapat memobilisasi 40.000 pasukan. Kerajaan Belos ini berpusat di Laran dan rajanya bergelar Maromak Oan (anak tuhan). Sedangkan di bagian barat Timor terdiri atas 16 suku yang di pimpin oleh kerajaan Serviao, yang memiliki kekuatan 25.000 pasukan. Dalam kerajaan Serviao rajanya bergelar Sonobai yang berkedudukan di Amanuban, penduduk kerajaan Serviao adalah orang Dawan. Kelompok yang paling lemah adalah Belanda, bertahan di benteng Concordia di Kupang, sering terserang wabah penyakit. Garnisun Belanda di Kupang ini menghabiskan waktunya untuk bertahan menghadapi serangan dari kelompok-kelompok lainnya.

Pada tahun 1758 pasukan Belanda dipimpin oleh Pluskow mengadakan kerjasama dengan orang-orang Atoni menyerang dan mengalahkan pasukan Larantuka (Topas) di Noimuti. Namun usaha perluasan kekuasaan Belanda ini terhenti tahun 1764 karena serangan pasukan Portugis dari Lifau, dan berhasil mengalahkan pasukan Belanda termasuk komandannya Pluskow ikut terbunuh. Kejadian yang cukup penting dicatat adalah kekalahan pasukan Portugis di Lifau melawan serangan pasukan Larantuka (Topas) yang telah mengepung benteng Lifau. Pada bulan Agustus tahun 1769, Jendral Jose Telles de Menezes dan pasukannya terpaksa meninggalkan Lifau dan mencari tempat yang baru bagi pasukannya. Dengan dua buah kapal besar, Vicente dan Santa Rosa dan kapal-kapal kecil penguasa Lifau dan robongannya bergerak ke arah timur, sampai di Batugede, wilayah ini berbatasan dengan Atapupu yang dikuasai Belanda. di daerah Batugede, armada ini mendarat untuk persiapan perjalanan selanjutnya. Pelayaran dilanjutkan ke Vemasse, sebuah kerajaan besar, pusat kegiatan missi Katholik, namun karena wilayah ini tidak memiliki teluk dan mudah diserang musuh, armada bergerak lagi lebih ke timur. Sesampainya di Kerajaan Mota Ain Dili, armada berhenti dan diputuskan untuk menjadikan Dili sebagai pusat pemerintahan Portugal di Timor. Meskipun wilayah Dili merupakan tempat yang kurang menarik, tanahnya berawa-rawa penuh dengan nyamuk penyebar malaria dan demam kuning. Namun tempat ini dirasakan cukup aman dari serangan pasukan Larantuka karena terletak jauh di pantai utara bagian timur.

Meskipun Portugal tidak menguasai secara politik daerah Nusa Tenggara bagian timur, namun Gubernur Jenderal Portugis di Dili, Lopes de  Lima menawarkan pengalihan kekuasaan atas beberapa wilayah di Nusa Tenggara bagian timur kepada pemerintah Hindia Belanda di Batavia, tahun 1854. Penawaran transfer kekuasaan atas wilayah yang dikuasai oleh Kerajaan Larantuka di Timor barat, Flores, Adonara, Solor, Lomblen, Pantar, dan Alor oleh pemerintah Portugis di Dili kepada pemerintah Belanda dengan pembayaran 200.000 Guilders, dimaksudkan antara lain agar pemerintah Hindia Belanda mau mengambil alih kekuasaan orang-orang Topas (Larantuqueiros) atas wilayah tersebut. Tawaran ini dengan segera disambut oleh pemerintah Hindia Belanda yang menginginkan konsolidasi teritorinya di seluruh wilayah Nusantara. Kemudian pemerintah di Batavia memberikan pembayaran pertama sebanyak 80.000 Guilders tunai kepada Gubernur Portugis di Dili. Kesepakatan antara Dili dan Batavia ini ternyata tidak diketahui oleh pemerintah Portugis di Lisbon, dan menimbulkan protes dari pemerintah pusat Portugal. Namun akhirnya perjanjian pengalihan kekuasaan ini diratifikasi pada tahun 20 April 1859 di Lisabon, ibukota Portugis.

Sepertinya keinginan Gubernur Portugis di Dili ini merupakan satu cara untuk mengatasi kekacauan dan terganggunya keamanan di daerah yang diduduki Portugis. Selain dari penguasa pribumi di Timor, ancaman yang terbesar adalah ekspansi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda di Timor. Pada tahun 1818, residen Timor, J. A. Hazaart, yang berkedudukan di Kupang melakukan serangan militer dan berhasil menguasai kota pantai Atapupu yang dikuasai oleh Portugis yang terletak di pantai utara Timor. Dalam peperangan tersebut pihak Belanda merekrut pasukan dari orangorang Rote dan Sawu, bahkan sebagian penduduk Sawu dan Rote dimukimkan di sepanjang pantai utara Timor untuk mengurangi kekuatan Kerajaan Sonbai. Serangan-serangan juga dilakukan untuk menaklukkan

kerajaan Amanuban yang dituduh Belanda, menyerang sekutu-sekutu Belanda di Timor pada tahun yang sama. Pada tahun 1828 Kerajaan Sonbai Besar juga diserang karena tidak mau tunduk kepada Belanda. namun dari serangan-serangan tersebut pihak Belanda tidak berhasil mengalahkan rajaraja (liurai) Timor tersebut. Sehingga selama abad ke19 kekuasaan Belanda hanya terkonsentrasi di wilayah Kupang dan sekitarnya saja. Ditambah dengan kekuasaan terbatas di kerajaan-kerajaan sekutu seperti Amarasi dan Sonbai kecil, wilayah Atapupu dan Kerajaan Maubara yang ada di dekat kota Dili, Kerajaan Maubara menjalin hubungan dengan Belanda karena kecewa dengan tindakan pemerintahan Portugis di Dili. 

Pertikaian di Pulau Timor masih berlangsung sampai pertengahan bad ke-19. Tahun 1836, Kerajaan Sonbai, Amanuban dan Amfoang bersekutu untuk melawan kekuatan Belanda, mereka menyerang daerah-daerah sekitar Pulau Timor. Peperangan yang terjadi masih berlanjut antara pasukan Belanda dengan prajurit Sonbai pada tahun 1843, bahkan Kerajaan Manbait sekutu Sonbai pada tahun 1847 menyerang kampung orang Rote, sekutu Belanda di Nunkurus, yang terletak di pantai utara Timor. Kondisi seperti inilah yang menjadi alasan Gubernur Dili melakukan penawaran transfer kekuasaan di Flores dan sekitarnya, dengan harapan Belanda menghentikan ekspansinya ke Timor bagian timur.

Suatu ironi telah terjadi pada waktu itu, sebagai negara imperialis Portugis telah menjual daerah seberang lautan yang nyata-nyata tidak dikuasainya kepada negara Eropa lainnya. Portugis tidak pernah mempunyai kekuatan untuk mendirikan basis militer, politik dan ekonominya di wilayah Nusa Tenggara bagian timur kecuali Timor bagian timur dan daerah Oikussi. Meski begitu kebanyakan penguasa lokal masih memerintah secara mandiri wilayahnya, karena secara politik pemerintah Hindia Belanda sendiri baru pada awal abad ke-20 menguasai penuh secara de facto atas wilayah kepulauan di Nusa Tenggara bagian timur. 

Perkembangan pada abad ke-19, hasil kayu cendana masih mendominasi perdagangan antar pulau di Timor. Namun penduduk Larantuka kemudian lebih memilih mengelola tanah pertaniannya. Mereka membuka ladang-ladang untuk ditanami jagung, mananam tembakau dan mengelola perkebunan kelapa untuk dijadikan kopra yang dapat diolah menjadi minyak kelapa. Di samping itu kegiatan mencari ikan masih merupakan profesi penduduk di tepi pantai. Perdagangan dengan daerah-daerah lainnya terutama dengan pedagang Makasar semakin meningkat, kapal-kapal padewakang berdatangan membawa barang-barang dari Malaka dan Jawa untuk ditukarkan dengan produk-produk setempat.

Dari deskripsi yang bisa kita lihat dari perebutan hegemoni politik, dan ekonomi di Nusantara selama abad ke-17 sepertinya tidak berpihak lagi kepada Portugis. Pada abad sebelumnya Portugis dengan kekuatan armadanya berhasil mengalahkan kekuatan lokal di Nusantara, terutama penaklukkan bandar Malaka dan beberapa daerah di Ambon dan Ternate. Namun abad ke-17 kekuasaan Portugis atas daerah perdagangan di Nusantara mulai merosot karena terdesak oleh kekuatan maritim VOC. Beberapa wilayah yang masih dikuasainya adalah daerah sekitar pulau Timor dan sebagian Flores timur. Di wilayah ini pengaruh Portugis cukup kuat terutama dalam bidang kebudayaan dan penyebaran agama Katholik. Lembaga agama Katholik dari ordo Dominikan sangat dominan di terutama di Flores timur (daerah Larantuka) , Solor dan sebagian besar Timor. 25 Namun Portugis tetap berusaha untuk bangkit dengan memindahkan pusat perdagangannya di pelabuhan Makasar, yang sebelum tahun 1660 adalah pelabuhan bebas bagi kapal-kapal asing. Di Pelabuhan Makasar, mereka membeli Cengkeh, kayu cendana dan barang-barang lain sampai kemudian VOC mengambil alih pelabuhan Makasar dengan kekerasan senjata dalam Perang Makasar (1660-1667). Sementara itu daerah Macao di Cina dan daerah Sunda kecil (Timor, Solor dan Flores) masih dipertahankan sebagai daerah koloninya. 

Dilihat dari sejarah kekuasaan politik Portugis di pulau-pulau di Nusa Tenggara bagian timur terlihat bahwa kekuatan Portugis amat lemah. Bahkan di akhir abad ke18, kedudukan Portugis di Lifau, daerah pantai utara Timor, dihancurkan oleh kekuatan bangsa Timur yang dipimpin oleh pasukan Topas (Larantuka) dan sekutunya di Timor. Sehingga sebetulnya Portugis kemudian hanya memiliki daerah Dili dan sekitarnya pada akhir abad ke-18, seperti yang diuraikan dalam penjelasan di atas. Jadi kalau dilihat dari lintasan historis yang telah disusun dalam uraian di atas, terlihat kemerosotan hegemoni politik dan ekonomi Portugal terjadi di seluruh wilayah Nusantara. Suatu kesimpulan yang salah kalau Portugis dianggap memiliki kekuasaan yang mutlak atas Flores, Solor, Alor, Timor dan sekitarnya, meskipun agama Kaholik dan kebudayaan Portugis yang diserap masyarakat melekat cukup kuat akibat interaksi kebudayaan Portugis selama hampir satu abad, selama abad ke-16. Namun kenyataannya daerah-daerah tersebut adalah kerajaan yang merdeka.  

Ada beberapa alasan yang menyebabkan, mengapa Portugis kalah bersaing dengan Belanda dalam pelayaran dan perdagangan di Nusantara. C.R. Boxer mengemukakan beberapa argumennya, bahwa kekalahan Portugis atas wilayah darat dan laut di kepulauan Nusantara ini terjadi karena beberapa sebab.

Alasan kemenangan Belanda di Asia menurut C.R. Boxer dapat disimpulkan dalam 3 kelompok utama: pertama, Belanda memiliki sumber daya ekonomi yang kuat, kedua, memiliki sumber daya manusia yang besar, dan ketiga, memiliki kekuatan laut (sea power) yang kuat. Sebagai gambaran menurut Boxer, sebuah propinsi, di negeri Belanda memiliki kekayaan yang lebih besar daripada Kerajaan Portugal. Meskipun penduduk Belanda tidak sebesar Inggris atau Perancis, namun orang Belanda secara ekstensif menarik warga negara tetangganya, seperti Jerman dan negara-negara Skandinavia sebagai tenaga manusia dalam ketentaraan dan awak bagi armada niaga dan armada perangnya. Menurut catatan Antonio Vieira, armada dagang dan perang Belanda terdiri atas 14.000 kapal yang dapat dipakai untuk melayari perairan di Afrika dan Asia, sementara kekuatan laut Portugis sangat kecil. Bayangkan armada laut Belanda diawaki oleh hampir 250.000 pelaut dan tentara yang ada di kapal-kapal, sementara Portugis hanya memiliki 6.260 orang pelaut dan tentara untuk seluruh negara di dunia. Kelemahan inilah yang nantinya makin membuat pelayaran dan perdagangan Portugis di seberang lautan makin merosot pada abad ke18. 

Dengan demikian ketertinggalan Portugis dalam hal persenjataan dan tehnologi perkapalan dibandingkan dengan Belanda dan Inggris sangat mempengaruhi kekuatan armada Portugis. Namun yang lebih penting Belanda dengan VOC-nya, Inggris dengan EIC (Esat India Company) nya telah menggunakan cara-cara kapitalisme modern untuk melakukan perdagangan dan eksploitasi ekonomi dengan negeri-negeri penghasil rempah-rempah dan produk hutan lainnya yang sangat laku di pasaran.

Klik gambar di bawah ini untuk mengerjakan tugas



Posting Komentar

 
Top