A. Faktor-Faktor Yang Memepngaruhi Pemerolehan Bahasa Anak
Sungguh menakjubkan hanya dalam waktu
sekitar 4 tahun anak-anak telah menguasai sistem B1-Nya. Penguasaan sistem
bahasa itu telah memungkinkan mereka mampu memahami dan menciptakan tuturan
atau kalimat-kalimat yang belum pernah diperdengarkan dan diucapkan sebelumnya.
Sebagai orang tua, mungkin anda pernah bertanya-tanya mengapa anak-anak itu
belajar
dan menguasai B1-Nya
begitu cepat.
Untuk itu, sebelum melanjutkan membaca,
cobalah anda kerjakan pertanyaan berikut ini terlebih dahulu. Apabila anda
dapat menjawab 80% dengan benar maka anda sebenarnya telah memiliki pengetahuan
materi kegiatan belajar ini dengan baik. Silakan kerjakan selama 10 menit!
Tatkala kita mengamati perkembangan
bahasa anak yang begitu pesat dan menakjubkan muncul pertanyaan di benak kita.
Bagaimana anak bisa memperoleh kemamppuan berbahasa seperti itu? Apakah memang
pembawaan anak dari sananya atau ada unsur-unsur lain yang memungkinkannya
memiliki kemahiran berbahasa seperti itu?” Ada 2 persyaratan dasar yang
memungkinkan anak dapat memperoleh kemampuan berbahasa, yaitu potensi faktor
biologis yang dimilikinya, serta dukungan sosial yang diperolehnya. Selain itu
terdapat faktor-faktor penunjang yang merupakan penjabaran dari kedua hal
diatas, yang dapat mempengaruhi tingkat kemampuan bahasa yang diperoleh anak.
1. Faktor Biologis
Setiap anak yang lahir telah dilengkapi
dengan kemamuan kodrati atau alami yang memungkinkannya menguasai bahasa.
Potensi alami itu bekerja secara otomatis. Chomsky (1975 dalam Santrock, 1994)
menyebut potensi yang terkandung dalam perangkat biologis anak dengan istilah
Piranti pemerolehan bahasa (Language Acquisition Devives). Dengan piranti itu,
anak dapat menercap sistem suastu bahasa yang terdiri atas subsitem fonologis,
tata bahasa, kosakata, dan pragmatik, serta menggunakannya dalam berbahasa.
Perangkat biologis yang menentukan anak dapat memperoleh kemampuan bahasanya ada 3, yaitu otak (sistem syaraf pusat), alat dengar, dan alat ucap.
Perangkat biologis yang menentukan anak dapat memperoleh kemampuan bahasanya ada 3, yaitu otak (sistem syaraf pusat), alat dengar, dan alat ucap.
Dalam proses berbahasa, seseorang
dikendalikan oleh sistem syaraf pusat yang ada di otaknya. Pada belahan otak
sebelah kiri dikendalikan oleh sistem syaraf pusat yang ada di mengontrol
produksi atau penghasilan bahasa, seperti berbicara dan menulis. Pada belahan
otak sebelah kanan terdapat wilayah wernicke yang mempengaruhi dan bagian otak
itu terdapat wilayah motor suplementer. Bagian ini berfungsi untuk mengendalikan
unsur fisik penghasil ujaran.
Berdasarkan tugas tenaga bagian otak itu,
alur penerimaan dan penghasilan bahasa dapat disederhanakan seperti berikut.
Bahasa didengarkan dan dipahami melalui daerah Wernicke. Isyarat bahasa itu
kemudian dialihkan ke daerah Broca untuk mempersiapkan penghasilan balasan.
Selanjutnya isyarat tanggapan bahasa itu dikirimkan ke daerah motor, seperti
alat ucap, untuk menghasilkan bahasa secara fisik.
2. Faktor Lingkungan Sosial
Untuk memperoleh kemampuan berbahasa,
seorang anak memerlukan orang lain untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Anak
yang secara sengaja dicegah untuk mendegarkan sesuatu atau menggunakan
bahasanya untuk berkomunikasi, tidak akan memiliki kemampuan berbahasa. Mengapa
demikian? Bahasa yang diperoleh anak tidak diwariskan secara genetis atau
keturunan, tetapi didapat dalam lingkungan yang menggunakan bahasa. Atas dasar
itu maka anak memerlukan orang lain untuk mengirimkan dan menerima tanda-tanda
suara dalam bahasa itu secara fisik. Anak memerlukan contoh atau model
berbhasa, respon atau tanggapan, secara temah untuk berlatih dan beruji coba
dalam belajar bahasa dalam konteks yang sesungguhnya.
Dengan demikian, lingkungan sosial tempat
anak tinggal dan tumbuh, seperti keluarga dan masyarakat merupakan salah satu
faktor utama yang menentukan pemerolehan bahasa anak. Lalu, bagaimana kaitan
lingkungan sosial dengan perangkat biologis yang telah dimiliki anak lahir?
Apakah kalau unsur biologis anak normal masih tetap memerlukan lingkungan
sosial untuk mendapatkan kemampuan berbahasanya?
Kaitan keduanya sangat erat, tak
terpisahkan. Kehilangan salah satu dari keduanya akan mengakibatkan anak tidak
mampu berbahasa. Jika disederhanakan piranti biologis adalah wadah atau alat
maka lingkungan berperan memberi isi atau muatan. Apabila digambarkan maka
bentuknya seperti berikut.
Banyak bukti menunjukkan bahwa otak alat dengar dan alat ucap,
memiliki peran dasar sangat penting. Gangguan pada salah satu dari ketiganya
akan sangat menghambat bahasa anak. Lennerberg (1975 dalam Cahyono, 1995)
membuktikannya melalui penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak tunarungu,
lemah mental, dan tnawicara.
Dari kajiannya mengenai anak-anak
tunarungu, Lennerberg menemukan fakta berikut. Tiga belum setelah dilahirkan
anak-anak tunarungu dapat menghasilkan bunyi-bunyi yang sama seperti anak
normal. Dari bulan keempat hingga bulan kedua belas, hanya sebagian bunyi yang
mereka hasilkan sama dengan anak normal. Setelah itu, bunyi-bunyi yang mereka
hasilkan lebih terbatas dari pada bunyi-bunyi yang diproduksi anak yang
berpendengaran normal.
Hasil pengajaran terhadap anak-anak
tunarungu menunjukkan bahwa peluang mereka untuk belajar menggunakan suara dan
alat ucapnya sangat kecil. Ketika mereka berusaha berbicara, kualitas suara
mereka berubaha dengan tekanan yang kurang biak serta pula informasi yang tak
terkendali.
Anak-anak lemah mental cenderung
mengartikulasikan tuturannya secara lemah dengan gramatika yang banyak
mengandung kesalham. Kesalahan itu kadang-kadang pembicarannya bahwa mereka
kurang memahami apa yang disampaikannya dan topik pembicarannya kabur, kurang
terarah.
Berdasarkan kajian Lennerberg, anak-anak
tunarungu tidak dapat berceloteh dan menirukan kata. Mereka tidak dapat
memiliki kemampuan mengartikulasikan atau membunyikan tuturannya secara normal.
Hal ini disebabkan adanya gangguan alat ucap mereka. Meskipun demikian, mereka
dapat memahami tuturan dengan relatif baik.
Demikianlah uraian mengenai peranan unsur
biologis yang akibatnya lebih rendah terjadinya pemerolehan bahasa anak.
Hambatan biologis yang akibatnya lebih rendah dalam pemilikan bahasa dapat anda
amati pada anak-anak gagap, cadel, atau sengau.
Konsep lingkungan sosial di sini mengacu
kepada berbagai perilaku berbahasa setiap individu, seperti orang tua, saudara,
anggota masyarakat sekitar, dalam mendukung perkembangan bahasa anak. Dukungan
dan keterlibatan sosial ini diperlukan anak. Inilah yang disebut Bruner (1983
dalam Santrock, 1994) sebagai sistem pendukung pemerolehan bahasa (langsung
acquisition supprot system).
Kita semua tahu bawah pemakai bahasa yang
baik itu harus memiliki dua hal. Pertama dia harus menguasai sistem atau aturan
bahasa yang digunakannya. Kedua, dia juga harus memehami dan menguasai aturan
sosial penggunaan bahsa itu. Kita akan menyebut kurang ajar apbila seorang anak
berbahasa dengan gurunya menggunakan ragam dan cara bahasa seperti dengan kawa
sebayanya. Nah, apabila piranti biologis memungkinkan anak memahami sistem
bahasanya maka lingkungan sosial memberikan kesempatan baginya untuk
berinteraksi dengan bahasa yang dimilikinya sehingga bahasanya berfungsi secara
wajar.
Selanjutnya bagaimakanah lingkungan sosial itu memberikan dukungan kepada anak dalam belajar bahasa? Banyak cara! Di antaranya adalah berikut ini.
Selanjutnya bagaimakanah lingkungan sosial itu memberikan dukungan kepada anak dalam belajar bahasa? Banyak cara! Di antaranya adalah berikut ini.
a. Bahasa semang
(motheresse)
yaitu penyederhanaan bahasa oleh orang tua atau orang dewasa lainnya ketika
berbicara dengan bayi anak kecil. Misalnya, “Napa chayang? Mau mimi, iya?
Bentar, ya!”
b. Parafrase, yaitu pengungkapan kembali ujaran yang
diucapkan anak dengan cara yang berbeda. Misalnya kalimat pernyataan menjadi
kalimat pertanyaan. Efek parafase ini sangat menolong anak belajar bahasa. Oleh
karena itu, orang dewasa sebaiknya membiarkan anak menunjukkan minat serta
mengungkapkannya dalam bentuk komentar, demontrasi dan menjelaskan. Menurut
Rice (Santrock, 1994), pendekatan direktif atau langsung sewaktu berkomunikasi
dengan anak akan mengganggunya. Misalnya:
Anak : “Mammam!”
Ibu : “Oh, maem, chayang?” (Oh maka, sayang?)
c. Menegaskan kembali
(echoing) yaitu mengulang apa
yang dikatakan anak, terutama apabila tuturannya tidak lengkap atau tidak
sesuai dengan maksud. Misalnya:
Anak : “Mah itu!” sambil menunjuk. Mukanya seperti ketakutan.
Ibu : “Oh, cecak, Rani takut cecak? Nggak apa-apa. Cecak baik, kok!”
Anak : “Iya!”
Ibu : “Oh, cecak, Rani takut cecak? Nggak apa-apa. Cecak baik, kok!”
Anak : “Iya!”
d. Memperluas
(expanding)
yaitu mengungkapkan kembali apa yang dikatakan anak dalam bentuk kebahasaan
yang lebih kompleks.
e. Menamai (labeling), yaitu mengindentifikasi nama-nama benda.
Bisa dalam bentuk benda sebenarnya atau benda tiruan (realia), gambar,
permainan kata, dan sebagainya.
f. Penguatan
(reinforcement)
yaitu menanggapi atau memberi respon positif atas perilaku bahasa anak.
Misalnya, dengan memuji, memberi acungan jempol, dan tepuk tangan.
g. Pemodelan
(modelling),
yaitu contoh berbhasa yang dilakukan orang tua atau orang dewasa (Santrock,
1994; Benson, 1998).
Semakin kuat rangsangan dan dukungan
sosial terhadap bahasa anak, akan semakin kaya pula masukan dan kemampuan
berbahasanya. Sebaliknya, apabila dukungan sosial itu kurang atau negatif maka
masukan bahasa anak pun akan sedikit. Dengan demikian, tingkat masukan bahasa
yang diperoleh anak akan mempengaruhi tingkat perkembangan bahasanya.
Begitu pentingnya peranan unsur atau lingkungan sosial terhadap pemerolehan bahasa anak. Seandainya saja seorang anak normal diasingkan dan tumbuh di lingkungan hutan, di antara hewan-hewan hutan, niscaya bahasa hewanlah yang akan dikuasainya. Anda setuju dengan pendapat itu?
Begitu pentingnya peranan unsur atau lingkungan sosial terhadap pemerolehan bahasa anak. Seandainya saja seorang anak normal diasingkan dan tumbuh di lingkungan hutan, di antara hewan-hewan hutan, niscaya bahasa hewanlah yang akan dikuasainya. Anda setuju dengan pendapat itu?
Selain faktor biologis dan sosial, ada unsur lain yang
mempengaruhi pemerolehan bahasa anak-anak. Kedua faktor itu adalah intelegensi
dan motivasi.
3. Faktor Intelegensi
Intelengesi adalah daya atau kemampuan anak dalam berpikir atau
bernalar. Zanden (1980) mendefinisikannya sebagai kemampuan seseorang dalam memecahkan
masalah. Intelengesiini bersifat abstrak dan tak dapat diamati secara langsung.
Pemahaman kita tentan tingkat intelengensi seseorang hanya dapat disimpulkan melalui
perilakunya.
Kemudian, bagaimana pengaruh faktor untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar anak? Sebenarnya, penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar tinggi lebih tinggi akan lebih sukses dari pada anak yang berdaya nalar pas-pasan kecuali, tentu saja anak-anak yang sangat rendah intelegensinya seperti yang telah dijelaskan pada faktor bilogis, dapat belajar dan memperoleh bahasa dengan sukses. Perbedaannya terletak pada jangka waktu dan tingkat kreativitas. Anak yang berintelengensi tinggi, tingkat pencapaian bahasanya cenderung lebih cepat, lebih banyak dan lebh bevariasi bahasanya dari pada anak-anak yang bernalar sedang atau rendah.
Kemudian, bagaimana pengaruh faktor untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar anak? Sebenarnya, penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar tinggi lebih tinggi akan lebih sukses dari pada anak yang berdaya nalar pas-pasan kecuali, tentu saja anak-anak yang sangat rendah intelegensinya seperti yang telah dijelaskan pada faktor bilogis, dapat belajar dan memperoleh bahasa dengan sukses. Perbedaannya terletak pada jangka waktu dan tingkat kreativitas. Anak yang berintelengensi tinggi, tingkat pencapaian bahasanya cenderung lebih cepat, lebih banyak dan lebh bevariasi bahasanya dari pada anak-anak yang bernalar sedang atau rendah.
4. Faktor Motivasi
Benson (1988) menyatakan bahwa kekuatan motivasi dapat
menjelaskan “Mengapa seorang anak yang normal sukses mempelajari bahasa
ibunya”. Sumber motivasi itu ada 2 yaitu dari dalam dan luar diri anak.
Dalam belajar bahasa seorang anak tidak terdorong demi bahasa
sendiri. Dia belajar bahasa karena kebutuhan dasar yang bersifat, seperti
lapar, haus, serta perlu perhatian dan kasih sayang (Goodman, 1986; Tompkins
dan Hoskisson. 1995). Inilah yang disebut motivasi intrinsik yang berasal dari
dalam diri anak sendiri. Untuk itulah mereka memerlukan kemunikasi dengan
sekitarnya. Kebutuhan komunikasi ini ditunjukkan agar dia dapat dipahami dan
memahami guna mewujudkan kepentingan dirinya.
Dalam perkembangan selanjutnya si anak merasakan bahwa
komunikasi bahasa yang dilakukannya membuat orang lain senang dan gembira
sehingg dia pin kerap menerima pujian dan respon baik dari mitra bicaranya.
Kondisi ini memacu anak untuk belajar dan menguasai bahasanya lebih baik lagi.
Nak karena dorongan belajar anak itu berasal dari luar dirinya maka motivasinya
disebut motivasi ekstrinsik.
B. STRATEGI PEMEROLEHAN
BAHASA ANAK
Berbeda dengan orang dewasa, anak kecil
cenderung lebih cepat belajar dan menguasai suatu bahsa. Dalam lingkungan
masyarakat bahasa apa pun mereka hidup anak-anak hanya memerlukan waktu relatif
sebentar untuk menguasai sistem bahasa itu. Apalagi kalau mereka berada dalam
lingkungan bahasa ibunya (B1).
Sebenarnya strategi apa yang ditempuh
anak-anak dalam belajar bahasa sehingga dengan cepat mereka dapat menguasai
itu. Padahal mereka tidak sengaja belajar atau diajari secara khusus. Ternyata,
untuk memperoleh kemampuan bahasa lisannya mereka melakukannya dengan berbagai
cara seperti di bawah ini.
1. Mengingat
Mengapa memainkan peranan penting dalam
belajar bahasa anak atau belajar apa pun. Setiap pengalaman indrawi yang dilalui
anak, direkam dalam benaknya. Ketika dia menyentuh, mencerap, mencium, melihat,
dan mendengar sesuatu, memori anak menyimpangnya. Pancaindra itu sangat penting
bagi anak dalam membangun pengetahuan tentang dunianya.
Pada setiap awal belajar bahasa, anak
mulai membangun pengetahuan tentang kombinasi bunyi-bunuyi tertentu yang
menyertai dan merujuk pada sesusatu yang dia alami. Ingatan itu akan semakin
kuat, terutama apabila penyebutan akan benda atau peristiwa tertentu terjadi
berulang-ulang. Dengan cara ini, anak-anak mengingat kata-kata tentang sesusatu
sekaligus berulang-ulang pula cara mengucapnya.
Hanya saja, khasanah bahasa yang diingat
anak ketika diucapkan tidak salah tepat. Mungkin lafalnya kurang pas atau hanya
suku kata awal atau akhirnya saja. Hal ini terjadi karena pertumbuhan otak dan
alat ucap anak masih sedsang berkembang. Dia menyimpan kata yang dia dengar,
yang dia diperlukan dalam memorinya. Dia pun mencoba mengatakannya. Namun
tingkat perkembangannya yang belum memungkinkan dia melafalkan tuturan
sesempurna orang dewasa. Oleh kareana itu, dalam berbahasa biasanya anak
dibantu oleh ekspresi, gerak tangan atau menunjuk benda-benda tertentu. Inilah
versi bahasa anak.
Mengingat kondisi itu, dalam
berkomunikasi dengan anak biasanya orang tua atau orang dewasa menyederhanakan
bahasanya. Penyerderhanaan itu diwujudkan dalam tuturan yang pelan, ekspresif,
dan modifikasi kata yang mudah diingat dan diucapkan anak, seperti kata “pus”
untuk kucing, “mimi” untuk minum, “mamam” atau “Ma’em” untuk makan, “bobo”
tidur, dan “pipis” untuk kencing.
2. Meniru
Strategi penting lainnya yang dilakukan anak dalam belajar
bahasa adalah peneriuan. Perwujudan strategi ini sebenarnya tak dapat
dipisahkan dasri strategi mengingat. Kemudian apakah peniruan yang dilakukan
dalam belajar bahasa itu seperti beo? Apakah dia meniru bulat-bulat dan hanya
sekedar mengulang kembali apa yang didengarnya?
Perkataan anak tidaklah selalu merupakan pengulangan searah persis apa yang didengarnya, seperti halnya beo. Cobalah anda amati atau minta seorang anak mengulang suatu tuturan yang dicontohlan. Anda akan menemukan bahwa tuturan anak cenderung mengalami perubahan. Perubahan itu daopat berupa pengurangan, penambahan, dan penggatian kata atau pengurutan susunan kata. Mengapat begitu?
Perkataan anak tidaklah selalu merupakan pengulangan searah persis apa yang didengarnya, seperti halnya beo. Cobalah anda amati atau minta seorang anak mengulang suatu tuturan yang dicontohlan. Anda akan menemukan bahwa tuturan anak cenderung mengalami perubahan. Perubahan itu daopat berupa pengurangan, penambahan, dan penggatian kata atau pengurutan susunan kata. Mengapat begitu?
Sedikitnya ada 2 penyebab. Penyebab
pertama, berkaitan dengan perkembangan otak, penguasaan kaidah bahasa, serta
alat ucap. Dengan demikian anak hanya akan mengucapkan tuturan yang telah
dikuasainya. Penyebab kedua, berkenaan dengan kreativitas berbahasa anak. Di
suastu sisim secsara bertahap dia dapat memahami dan menggunakan suastu sistem
bahasa yang memungkinkan dia mengerti dan memproduksi jumlah tuturan yang tak
terbatas. Keadaan ini mendorong anak senang melakukan percobaan atau eksperimen
dalam berbhasa . percobaan ini terus berlangsung sampai kemampuan berbahasanya
berpindah pada tingkat yang lebih kompleks.
Atas dasar itu pula, tampaknya sulit bagi
anak untuk meniru bulat-bulat tuturan orang dewasa. Mengapa? Sebab, apabila
anak berkonsentrasi pada tuturan tersebut maka perkembangan kemampuan
komunikasinya akan sangat terganggu. Hasilnya pun akan sangat terbatas
(MaCaualay, 1980).
Oleh karena itu tak
perlu heran apabila suatu ketika anda mendengar anak mampu memproduksi tuturan
yang belum penrah anda dengar sebelumnya. Hal ini terjadi karena dalam belajar
bahasa, seorang anak tidak sekedar menangkap kata-kata. Dia juga terutama
karena mencerna prinsip-prinsip organisasi bahasa secara alami. Dengan
demikian, sifast peniruan anak cenderung bersifat dinamis dan kreatif. Oleh karena strategi peniruan itu pula
maka model (orang) yang memberikan masukan kebahasaan kepada anak sangat
mempengaruhi corak bahasa yang baik. Sebaliknya, apabila modelnya kurang baik
maka versi bahasa yang kurang baik itulah yang akan dipelajarinya.
Referensi:
Harras, Kholid A. dan Andika Dutha
Bachari. (2009). Dasar-dasar Psikolinguistik. Bandung: UPI press.
Mar’at,
Samsunuwiyati. (2005). Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Refika
Aditama.
Ruqayyah.
(2008). Pemerolehan Bahasa Anak Usia 4-6 Tahun (Tinjauan tentang Jenis
Tindak Tutur yang Dikuasai Anak Usia 4-6 Tahun, Studi Kasus Anak Usia 4-6 Tahun
di Taman Kanak-kanak Al-mustaqim). [Online]. Tersedia:
http://massofa.wordpress.com/2008/11/19/pemerolehan-bahasa-anak-usia-4-6-tahun/
html (19 Mei 2009).
Posting Komentar